Aku Penyenang

Oky Primadeka


Di setiap helaian waktu tersematkan padaku
dahan, ranting, daun, pucuk, bunga, dan buah
Di dingin yang dikibaskan malam tetap menjadi seutuhnya aku
dahan, ranting, daun, pucuk, dan buah
Aku lupa, sekarang baru kusebut akar, inti

Setiap pagi kudengar sepasang burung nuri
elok warna dan merdu suaranya mencuit
Aku ingat betul saat mereka dalam gugup mengecup gigit
buahku yang belum ranum
“Asem,” celetuk mereka.
“Haha, itu akibat enggan taat pada waktu,” ejekku.

Aku adalah setia yang ditelan sepi
Seperti embun yang kehilangan pagi
aku sendiri dalam hening sunyi musim hujan
Namun, aku sadar kuhidup dalam dekapan
Aku belajar tentang erat dan renggang, hangat dan dingin
hingga kuputuskan untuk setia pada sekujur tubuh alam

Kutancap niat ke pusat bumi
Kuteguhkan diri walau takkan sampai ke langit
Kutarikan daun yang mendesau sepanjang pagi
Dan kupajang buah kudapan pada etalase alam
Silakan, sepuasnya, aku penyenang

Esok yang kuigaukan
selalu tiba dengan sejumput asa
membawa untaian benang-benangnya
Aku rajut tekun agar indah kain yang ‘kan
kupersembahkan, padamu, sekalian tujuan
Tak masalah aku mati ditelan sepi
Aku penyenang

Ciputat,
Jumat, 14 Februari 2014




Read more...

Jendela Cinta

Oky Primadeka


Cinta itu seperti jendela
Kalau kita lupa membukanya
takkan ada angin bertamu
membawa sebingkis sejuk
mengobati sepinya jiwa

Cinta itu seperti jendela
Kalau kita lupa menutupnya
maka angin masuk menusuk
pori-pori kulit kehidupan kita
Tutuplah, agar gigil tak memanggil

Cinta itu seperti jendela
Pandai-pandai kita menutup-membukanya
          Agar seimbang
                   Agar seimbang

Ciputat,
Minggu, 09 Februari 2014

Read more...

Mawar

Oky Primadeka


Aku tak memasalahkan
mengapa mawar berwarna merah cerah,
dan harum wangi walau saat hujan rintik di bawah redupnya langit
tak ragu membagi indah
pada kupu-kupu yang kehausan karena rindu menggebu

Ciputat,
Senin, 18 Februari 2014


Read more...

Buku Tamu

Selamat datang. Sampaikan tanggapan, saran, dan kritik teman-teman di sini. Terima kasih sudah berkenan hadir mengunjungi kedai puisi saya. Salam.

Read more...

Pustaka Puisi

Pustaka Puisi. Selamat datang. Halaman ini akan saya gunakan untuk menyajikan buku-buku puisi saya kelak. Sekarang memang belum tetapi akan. Pustaka Puisi pun tidak semata akan saya isi dengan karya saya pribadi, akan saya sisipkan pula karya-karya puisi teman-teman sepenyair seperjuangan, teman-teman kolibétian. Untuk yang belum tahu apa itu kolibet, bisa meng-klik pada link bar saya komunitas literasi alfabét. Selanjutnya, saya ucapkan selamat menikmati. Bukan menikmati hidangan makanan, tetapi menikmati hidangan puisi-puisi saya. Salam.

Read more...

Sepucuk Daun

Mungkin saat pertama kali teman-teman mengunjungi blog saya, seketika terlintas dalam benak teman-teman apa sebenarnya arti kata sepucuk daun yang menjadi nama blog puisi saya ini. Jangankan teman-teman, saya pun yang memilih nama ini sempat kebingungan memaknai kata sepucuk daun. Tapi jangan khawatir, setelah saya renungkan sembari bercengkrama dengan teman karib saya, seorang yang sangat cinta terhadap ilmu, saya temukan sedikit arti filosofis nama sepucuk daun. Nama sepucuk daun bagi saya sederhananya adalah doa saya pribadi, dan menjadi alasan kuat mengapa saya membuat blog puisi ini. Secara berurutan nama sepucuk daun terdiri dari imbuhan se-, kata dasar pucuk, dan kata dasar daun.

Imbuhan se- pada nama sepucuk daun, tentunya dengan mudah dapat teman-teman pahami bahwa itu berarti satu, tidak lebih. Bahkan saya yakin setingkat anak TK pun sudah paham artinya. Apalagi di zaman sekarang yang sudah serba cepat ini. Namun, kemudian mungkin timbul pertanyaan mengapa se-/satu tidak dua, tiga atau pun lebih. Mengapa pucuknya hanya satu? Sebelum saya jawab, saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang dalam benaknya muncul pertanyaan ini. Itu menandakan bahwa teman-teman care terhadap saya. Sepucuk, hanya satu pucuk. Imbuhan se- sengaja saya sisipkan sebagai tanda bahwa saya hanya satu/seorang. Blog puisi ini dimiliki hanya oleh seorang diri, saya. Pun suguhan isi blog ini nantinya akan menjadi karya pribadi saya sendiri. Saya tidak bertendensi untuk menjadi seorang aku yang egois atau pun angkuh. Saya hanya bermaksud agar teman-teman pengunjung blog saya nantinya menganggap saya sebagai saya bukan orang lain. Itu saja.

Komponen kedua yaitu kata dasar pucuk. Kata ini hadir dalam benak saya saat teringat makan di sebuah warung pecel pinggiran kampus UIN Jakarta. Saat itu, sang penjual yang biasa saya panggil bude, ia menyuguhkan pecel sajiannya dengan menambahkan pucuk daun kemangi. Ketika itu dengan lahap saya makan pecel si bude. Menunya sederhana hanya sepotong tahu, bakwan ditambah dua potong goreng kepala ayam. Namun, tamparan pedasnya sambal yang menjadi ciri khas pecel itu cukup membuat saya meringis. Dalam tenggelamnya menikmati pecel itu, saya sentuh pucuk daun kemangi, lalu saya cocolkan ke sambal, dan waw...ajib rasanya. Setelah itu, lantas dalam hati saya pun bertanya mengapa harus pucuk? Langsung saya tanyakan kepada si bude, "Bude, kenapa sih daun kemanginya harus yang masih pucuk?," tutur saya. "Anu de, ne misale daune esih pucuk, iku esih seger, enak, ra pait,"jawab si bude dalam bahasa Jawa.  "Oh," tanggap saya. Dari jawaban bude saya ambil pikir bahwa mungkin daun yang sudah tua atau telah tuntas sebelumnya menjadi pucuk itu sudah tidak enak lagi untuk dikonsumsi, sudah pahit. Kalau saya ibaratkan dengan isi blog ini, puisi-puisi saya nantinya tidak menjadi puisi usang. Nama pucuk ini menjadi doa kedua agar apa yang saya suguhkan nanti di blog puisi ini tidaklah usang. Puisi-puisi blog ini nantinya menjadi sesuatu yang baru, segar, khas, dan bersahaja namun penuh makna.

Komponen ketiga yaitu kata dasar daun. Mengapa harus daun? Padahal ada kata lain yang bisa dijodohkan dengan kata sepucuk. Misalnya api atau senapan. Sengaja saya pilih kata dasar daun karena daun identik dengan warna hijau walaupun memang tidak semua daun berwarna hijau. Ada juga daun yang berwarna merah seperti Coleus Flame Dancer. Persoalan warna di sini menjadi sangat penting karena memang warna berpengaruh terhadap emosi seseorang. Dalam ilmu psikologi, warna hijau mempunyai efek yang menenangkan, membuat seseorang yang dalam keadaan tertekan menjadi santai. Hal ini karena memang sudah sifat warna hijau itu sendiri yaitu menenangkan. Mungkin juga karena warna hijau menghadirkan suasana alam. Nah, oleh karena sifat daun yang identik dengan suasana alam dan warnanya yang hijau, kata daun menjadi doa ketiga saya, semoga blog puisi ini mampu mengobati sakit atas hausnya ketenangan. Ketenangan untuk sejenak hening, lepas dari penatnya hidup untuk sekedar menikmati dan menghayati karunia Tuhan lewat kata.

Kemudian pada paragrap terakhir ini, secara singkat, 'kan saya katakan bahwa sepucuk daun adalah seorang pemuda yang ingin berbagi ketenangan lewat puisi-puisinya. Singkatnya itu. Sebagai penutup, saya ingin panjatkan doa keempat yaitu semoga ketiga doa di atas menjadi satu kesatuan yang menjadi kenyataan.

Read more...

Sekeranjang Rindu dan Sebotol Madu

Oky Primadeka


Hampir tak lagi aku dapati
embun pagi yang s'lalu diposkan malam
lewat Pak Bayu yang hobinya berjalan pelan-pelan

Aku keras bertahan
Aku takkan goyah
meski angin terlalu menerjang
Lihat, ulat pun masih sudi menyapaku
maka berarti aku harus hidup

Setiap tanggalnya satu daun
aku semakin yakin bahwa
satu langkah menuju rindu yang padat
telah kulalui dan menjadi dekat

Tinggal aku menunggu isyarat
dari angin timur yang sudah aku kompromi
memberi kabar kapan datangnya musim semi
bersama matahari yang mengusap-usap matanya
terbangun dari nyenyaknya di musim gugur

Saat itulah,
aku 'kan datang padamu
membawa sekeranjang rindu dan sebotol madu
untuk mengobati haus yang selama ini kita keluhkan, sayang...

Ciputat,
Sabtu, 1 Februari 2014

Read more...

  © Sepucuk Daun Blog Puisi Oky Primadeka by Ourblogtemplates.com 2014

Log In