Mungkin saat pertama kali teman-teman mengunjungi blog saya, seketika terlintas dalam benak teman-teman apa sebenarnya arti kata sepucuk daun yang menjadi nama blog puisi saya ini. Jangankan teman-teman, saya pun yang memilih nama ini sempat kebingungan memaknai kata sepucuk daun. Tapi jangan khawatir, setelah saya renungkan sembari bercengkrama dengan teman karib saya, seorang yang sangat cinta terhadap ilmu, saya temukan sedikit arti filosofis nama sepucuk daun. Nama sepucuk daun bagi saya sederhananya adalah doa saya pribadi, dan menjadi alasan kuat mengapa saya membuat blog puisi ini. Secara berurutan nama sepucuk daun terdiri dari imbuhan se-, kata dasar pucuk, dan kata dasar daun.
Imbuhan se- pada nama sepucuk daun, tentunya dengan mudah dapat teman-teman pahami bahwa itu berarti satu, tidak lebih. Bahkan saya yakin setingkat anak TK pun sudah paham artinya. Apalagi di zaman sekarang yang sudah serba cepat ini. Namun, kemudian mungkin timbul pertanyaan mengapa se-/satu tidak dua, tiga atau pun lebih. Mengapa pucuknya hanya satu? Sebelum saya jawab, saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang dalam benaknya muncul pertanyaan ini. Itu menandakan bahwa teman-teman care terhadap saya. Sepucuk, hanya satu pucuk. Imbuhan se- sengaja saya sisipkan sebagai tanda bahwa saya hanya satu/seorang. Blog puisi ini dimiliki hanya oleh seorang diri, saya. Pun suguhan isi blog ini nantinya akan menjadi karya pribadi saya sendiri. Saya tidak bertendensi untuk menjadi seorang aku yang egois atau pun angkuh. Saya hanya bermaksud agar teman-teman pengunjung blog saya nantinya menganggap saya sebagai saya bukan orang lain. Itu saja.
Komponen kedua yaitu kata dasar pucuk. Kata ini hadir dalam benak saya saat teringat makan di sebuah warung pecel pinggiran kampus UIN Jakarta. Saat itu, sang penjual yang biasa saya panggil bude, ia menyuguhkan pecel sajiannya dengan menambahkan pucuk daun kemangi. Ketika itu dengan lahap saya makan pecel si bude. Menunya sederhana hanya sepotong tahu, bakwan ditambah dua potong goreng kepala ayam. Namun, tamparan pedasnya sambal yang menjadi ciri khas pecel itu cukup membuat saya meringis. Dalam tenggelamnya menikmati pecel itu, saya sentuh pucuk daun kemangi, lalu saya cocolkan ke sambal, dan waw...ajib rasanya. Setelah itu, lantas dalam hati saya pun bertanya mengapa harus pucuk? Langsung saya tanyakan kepada si bude, "Bude, kenapa sih daun kemanginya harus yang masih pucuk?," tutur saya. "Anu de, ne misale daune esih pucuk, iku esih seger, enak, ra pait,"jawab si bude dalam bahasa Jawa. "Oh," tanggap saya. Dari jawaban bude saya ambil pikir bahwa mungkin daun yang sudah tua atau telah tuntas sebelumnya menjadi pucuk itu sudah tidak enak lagi untuk dikonsumsi, sudah pahit. Kalau saya ibaratkan dengan isi blog ini, puisi-puisi saya nantinya tidak menjadi puisi usang. Nama pucuk ini menjadi doa kedua agar apa yang saya suguhkan nanti di blog puisi ini tidaklah usang. Puisi-puisi blog ini nantinya menjadi sesuatu yang baru, segar, khas, dan bersahaja namun penuh makna.
Komponen ketiga yaitu kata dasar daun. Mengapa harus daun? Padahal ada kata lain yang bisa dijodohkan dengan kata sepucuk. Misalnya api atau senapan. Sengaja saya pilih kata dasar daun karena daun identik dengan warna hijau walaupun memang tidak semua daun berwarna hijau. Ada juga daun yang berwarna merah seperti Coleus Flame Dancer. Persoalan warna di sini menjadi sangat penting karena memang warna berpengaruh terhadap emosi seseorang. Dalam ilmu psikologi, warna hijau mempunyai efek yang menenangkan, membuat seseorang yang dalam keadaan tertekan menjadi santai. Hal ini karena memang sudah sifat warna hijau itu sendiri yaitu menenangkan. Mungkin juga karena warna hijau menghadirkan suasana alam. Nah, oleh karena sifat daun yang identik dengan suasana alam dan warnanya yang hijau, kata daun menjadi doa ketiga saya, semoga blog puisi ini mampu mengobati sakit atas hausnya ketenangan. Ketenangan untuk sejenak hening, lepas dari penatnya hidup untuk sekedar menikmati dan menghayati karunia Tuhan lewat kata.
Kemudian pada paragrap terakhir ini, secara singkat, 'kan saya katakan bahwa sepucuk daun adalah seorang pemuda yang ingin berbagi ketenangan lewat puisi-puisinya. Singkatnya itu. Sebagai penutup, saya ingin panjatkan doa keempat yaitu semoga ketiga doa di atas menjadi satu kesatuan yang menjadi kenyataan.
Read more...